Oleh : Rabiah Al-adawiyah Arni Putri, 2520862006
Kemajuan
teknologi digital telah mengubah secara fundamental cara kita berkomunikasi dan
mengakses informasi. Platform media sosial yang semula diciptakan sebagai ruang
berbagi momen personal dan membangun koneksi, kini bertransformasi menjadi
mesin kapitalisme global di bawah kendali raksasa teknologi seperti Meta
Platforms, Google, dan ByteDance. Perubahan paling mendasar terjadi pada peran
pengguna: mereka tidak lagi sekadar konsumen pasif, melainkan telah menjadi
aktor produktif yang secara tidak sadar menghasilkan nilai ekonomis.
Aktivitas
rutin kita di media sosial mulai dari mengunggah postingan, memberi apresiasi,
menulis komentar, membagikan informasi, hingga sekadar menelusuri
beranda—ternyata bukan aktivitas netral. Semua itu merupakan bagian integral
dari mekanisme kerja kapitalisme digital. Untuk mengurai kompleksitas fenomena
ini, saya menggunakan tiga perspektif teoritis: konsep Audience Commodity dari
Dallas W. Smythe yang mengungkap komodifikasi audiens, teori Interpelasi dan
Aparatus Ideologis Negara dari Louis Althusser yang menerangkan cara kerja
ideologi, serta model Decoding dari Stuart Hall yang menunjukkan potensi
resistensi audiens.
Smythe
mengajukan argumen yang cukup radikal dalam kajian media televisi: yang
sebenarnya dijual kepada pengiklan bukan program televisi, melainkan penonton
itu sendiri. Ketika kita duduk di depan layar televisi, kita sesungguhnya
sedang "bekerja" dengan memberikan perhatian, dan perhatian inilah
yang lalu dikonversi menjadi komoditas untuk pengiklan (Smythe, 1977). Jadi,
komoditas yang sebenarnya adalah atensi kita sebagai khalayak.
Kerangka
berpikir ini sangat aplikatif untuk memahami dinamika media sosial kontemporer.
Setiap interaksi kita membuat konten, memberikan like, menulis respons,
mengikuti akun, menyebarkan link pada dasarnya adalah bentuk kerja digital.
Dari aktivitas-aktivitas ini, terbentuk data perilaku: apa yang kita sukai,
bagaimana pola interaksi kita, konten apa yang menarik minat kita. Inilah yang
kemudian berubah menjadi komoditas bernilai tinggi. Platform memanfaatkan data
ini untuk diperdagangkan kepada pengiklan atau membangun sistem periklanan yang
canggih.
Dalam
konteks kapitalisme platform, data pengguna memiliki nilai ekonomi yang sangat
signifikan karena memungkinkan iklan yang tertarget dengan presisi tinggi.
Setiap tampilan, like, dan interaksi menjadi bagian dari apa yang oleh Zuboff
(2019) disebut surveillance capitalism-sistem kapitalisme berbasis pengawasan.
Hal ini menunjukkan bahwa peran kita bukan hanya sebagai konsumen konten,
tetapi juga sebagai produsen nilai yang tidak mendapat kompensasi finansial.
Kita adalah buruh digital yang tidak menyadari bahwa kita tengah berada dalam
proses produksi.
Poin
krusial yang harus dipahami: platform tidak bisa menghasilkan nilai ekonomi
tanpa partisipasi aktif penggunanya. Semakin intensif interaksi yang dilakukan,
semakin besar volume data yang terakumulasi, dan semakin tinggi nilai
komersialnya. Untuk Indonesia sebagai negara dengan populasi pengguna media
sosial terbesar keempat di dunia dengan rata-rata durasi penggunaan lebih dari
tiga jam sehari (APJII, 2023) fenomena ini memiliki implikasi yang sangat krusial.Althusser
menghadirkan konsepsi menarik mengenai cara ideologi beroperasi: lewat
"panggilan" kepada individu agar menjadi subjek yang selaras dengan
sistem eksisting. Dalam teori Aparatus Ideologis Negara (ISA), media
menjalankan fungsi sebagai alat yang menanamkan ideologi hegemonik tanpa
memakai koersi fisik (Althusser, 1971). Bila dahulu ISA meliputi institusi
pendidikan, institusi keagamaan, dan media massa, kini platform digital
mengeksekusi fungsi yang serupa.
Platform
memanggil kita lewat berbagai strategi yang sangat halus. Mereka
menganugerahkan label: "content creator", "influencer",
"micro-celebrity", "digital citizen". Identitas-identitas
ini tidak bersifat netral justru mendorong kita untuk terus produktif,
konsisten dalam memproduksi konten, aktif berinteraksi, dan memfokuskan diri
pada peningkatan engagement. Yang menarik, seluruh proses ini berlangsung
secara volunter. Kita tidak merasa tengah dieksploitasi karena kita mengira
sedang mengaktualisasikan diri.
Ambil
ilustrasi sederhana: notifikasi yang berbunyi "ucapkan selamat ulang tahun
kepada temanmu" atau "waktunya membuat story hari ini". Ini
bukan semata-mata pengingat yang friendly ini adalah panggilan untuk
berperilaku sesuai dengan logika engagement yang telah didesain platform. Secara
gradual namun konsisten, kita dibentuk menjadi subjek digital yang produktif
dan mengalami ketergantungan pada platform tersebut.
Interpelasi
digital juga beroperasi lewat proses normalisasi nilai-nilai tertentu.
Kesuksesan didefinisikan kembali: tidak lagi berkaitan dengan capaian
substantif, melainkan berkaitan dengan angka jumlah like yang diraih, jumlah
follower yang dimiliki, tingkat viralitas sebuah konten. Konsekuensinya, kita
terus "bekerja" bukan untuk kepentingan personal kita, melainkan untuk
mengkonsolidasikan model bisnis platform.
Akan
tetapi Stuart Hall menawarkan perspektif yang lebih penuh harapan. Dalam
pandangannya, audiens tidak menerima begitu saja pesan yang dikomunikasikan
media. Terdapat proses decoding interpretasi yang dapat berbentuk: akseptasi
total (dominan-hegemonik), akseptasi parsial dengan resistensi parsial
(negosiasi), atau penolakan menyeluruh (oposisi) (Hall, 1980).
Dalam
ruang digital, kita mengobservasi berbagai komunitas yang melakukan
interpretasi negosiasional atau oposisional terhadap wacana hegemonik.
Sementara platform global mempromosikan konsumerisme dan individualisme,
komunitas-komunitas spesifik justru memanfaatkan media sosial untuk kampanye
sosial, mobilisasi politik, advokasi isu lingkungan, bahkan melakukan kritik
terhadap struktur dominasi.
Indonesia
mempunyai contoh-contoh empiris yakni: mobilisasi #ReformasiDikorupsi atau
gerakan #BoikotBrandX. Dalam kasus-kasus tersebut, audiens bukan sekadar objek
yang patuh terhadap panggilan platform. Mereka bertransformasi menjadi aktor
yang secara aktif memproduksi counter-meaning, bahkan menantang wacana
hegemonik dari negara atau korporasi. Audiens tidak hanya mengalami
komodifikasi, tetapi juga menjadi agen transformasi yang kritis.
Fenomena
ini tidak dapat dipisahkan dari konteks imperialisme digital global.
Platform-platform raksasa yang berpusat di negara-negara maju mengkontrol
infrastruktur komunikasi dunia. Meta dengan Facebook dan Instagram, Google
dengan YouTube, ByteDance dengan TikTok mereka mengendalikan sirkulasi data,
merancang algoritma, dan pada esensinya memiliki kekuasaan atas ruang publik
digital global.
Bagi
negara berkembang seperti Indonesia, konsekuensinya terang benderang: kita
bukan hanya user teknologi, tetapi supplier sumber daya data. Data warga negara
Indonesia diekstraksi, ditransformasi menjadi komoditas, dan dimonetisasi oleh
korporasi multinasional. Sementara itu, kedaulatan digital kita mengalami
keterbatasan karena infrastruktur kritis berada di luar kontrol nasional (Nugroho,
2022).
Yang
lebih esensial: interpelasi digital tidak pernah bersifat netral. Platform
membawa serta nilai-nilai ideologis dan ekonomi dari negara asal
mereka—terutama ideologi neoliberal kapitalistik. Ruang publik digital menjelma
menjadi arena kompetisi ekonomi-politik global yang timpang secara struktural.
Mari
kembali pada kerangka konseptual Smythe. Aktivitas kita di media sosial dapat
dipahami sebagai kerja dalam beragam dimensi:
·
Produksi Data: Setiap klik, like, share
mengkreasi jejak digital yang menjadi raw material industri periklanan dan
business intelligence.
·
Promosi Tanpa Kompensasi: Kita secara
volunter mendistribusikan konten brand atau wacana ideologis spesifik melalui
pembagian iklan atau konten yang disponsori.
·
Reproduksi Ideologi: Lewat engagement yang
rutin, kita turut mengkonsolidasikan norma-norma yang diinjeksikan oleh
platform.
·
Peningkatan Valuasi Korporasi: Semakin
tinggi engagement, semakin tinggi market value platform sementara kita tidak
mendapat porsi apapun dari profit tersebut.
Jadi
posisi kita bukan semata-mata sebagai konsumen, namun sebagai pekerja yang
tidak visible yang memproduksi nilai ekonomi untuk platform. Kondisi ini
diperburuk oleh interpelasi ideologis yang membuat kita merasa tengah
mengekspresikan kebebasan padahal kita sedang mengakumulasi wealth untuk
korporasi global.
Sebagaimana
ditekankan Hall, audiens memiliki agensi. Dalam ruang digital, bermunculan
berbagai bentuk resistensi mulai dari Komunitas aktivis digital yang melakukan
kritik dan membongkar logika bisnis platform seperti mobilisasi
#StopSurveillanceCapitalism. Gerakan konsumen kritis yang mengimplementasikan
kampanye unfollow massal atau boikot terhadap brand dan platform spesifik. Komunitas
kreatif independen yang mengkonstruksi narasi alternatif di luar logika
algoritma mainstream.
Di
Indonesia, hal ini terlihat dalam mobilisasi mahasiswa, praktik citizen
journalism, dan berbagai inisiatif literasi digital yang berusaha menyadarkan
publik mengenai struktur dominasi dalam ruang digital (Siregar, 2021).
Fenomena
komodifikasi audiens memunculkan pertanyaan etis yang urgent: bagaimana kita
memberikan proteksi terhadap hak pengguna ketika data mereka dieksploitasi
tanpa kompensasi yang fair? Bagaimana mengamankan bahwa ruang digital tidak sepenuhnya
dikuasai oleh korporasi transnasional? Dalam perspektif ilmu komunikasi, ini
merupakan panggilan untuk mengadopsi pendekatan komunikasi kritis yang tidak
semata-mata mendeskripsikan fenomena, tetapi juga mempertanyakan dan membongkar
struktur dominasi yang mendasarinya (Mosco, 2009).
Mahasiswa
dan peneliti komunikasi mempunyai tanggung jawab strategis: membongkar
mekanisme ideologis dan ekonomi yang beroperasi di balik platform digital.
Pendekatan kritis tidak hanya memfasilitasi kita memahami fenomena, tetapi juga
membuka peluang untuk mengembangkan alternatif baik dalam kebijakan publik,
desain platform yang lebih demokratis, maupun gerakan sosial transformatif.
Kapitalisme
platform digital memperlihatkan realitas yang mengagetkan audiens bukan lagi
resipien pesan pasif, melainkan komoditas primer dalam ekosistem ekonomi
digital. Dengan mengintegrasikan pemikiran Smythe, Althusser, dan Hall, kita
memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Smythe memperlihatkan bahwa
audiens melakukan kerja yang mengalami komodifikasi. Althusser menjelaskan
bagaimana ideologi digital membentuk subjek melalui interpelasi. Hall
membuktikan bahwa masih terdapat celah untuk resistensi dan interpretasi
alternatif.
Fenomena
ini berhubungan erat dengan imperialisme digital, dimana korporasi teknologi
global mendominasi ruang publik, mengeksploitasi data pengguna dari negara
berkembang, dan mengkonsolidasikan struktur dominasi ekonomi global. Sebagai
mahasiswa ilmu komunikasi, memahami dinamika ini tidak hanya semata urusan
akademis, tetapi juga tanggung jawab etis dan politis. Kesadaran kritis
terhadap struktur ini memfasilitasi kita untuk tidak hanya menjadi objek pasif,
tetapi juga subjek aktif yang mampu bernegosiasi, melakukan resistensi, dan
merebut kembali ruang digital sebagai ruang publik yang lebih demokratis dan
berkeadilan.
Daftar
Pustaka
Althusser,
L. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. Monthly Review Press.
APJII.
(2023). Laporan Survei Internet Indonesia 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia.
Hall,
S. (1980). Encoding/Decoding. In Culture, Media, Language. London: Routledge.
Mosco,
V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE Publications.
Nugroho,
Y. (2022). Kedaulatan digital dan tantangan neo-imperialisme platform. Jurnal
Komunikasi Indonesia, 14(1), 45–62.
Siregar,
R. (2021). Literasi digital dan perlawanan terhadap dominasi platform. Jurnal
Komunikasi dan Media Baru, 8(2), 112–128.
Smythe,
D. W. (1977). Communications: Blindspot of Western Marxism. Canadian Journal of
Political and Social Theory, 1(3), 1–27.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.
No comments
Post a Comment