Showing posts with label VokaEducation. Show all posts
Showing posts with label VokaEducation. Show all posts

Audiens sebagai Komoditas dan Interpelasi di Ruang Digital: Kritik terhadap Kapitalisme Media Sosial

Oleh : Rabiah Al-adawiyah Arni Putri, 2520862006

Kemajuan teknologi digital telah mengubah secara fundamental cara kita berkomunikasi dan mengakses informasi. Platform media sosial yang semula diciptakan sebagai ruang berbagi momen personal dan membangun koneksi, kini bertransformasi menjadi mesin kapitalisme global di bawah kendali raksasa teknologi seperti Meta Platforms, Google, dan ByteDance. Perubahan paling mendasar terjadi pada peran pengguna: mereka tidak lagi sekadar konsumen pasif, melainkan telah menjadi aktor produktif yang secara tidak sadar menghasilkan nilai ekonomis.

Aktivitas rutin kita di media sosial mulai dari mengunggah postingan, memberi apresiasi, menulis komentar, membagikan informasi, hingga sekadar menelusuri beranda—ternyata bukan aktivitas netral. Semua itu merupakan bagian integral dari mekanisme kerja kapitalisme digital. Untuk mengurai kompleksitas fenomena ini, saya menggunakan tiga perspektif teoritis: konsep Audience Commodity dari Dallas W. Smythe yang mengungkap komodifikasi audiens, teori Interpelasi dan Aparatus Ideologis Negara dari Louis Althusser yang menerangkan cara kerja ideologi, serta model Decoding dari Stuart Hall yang menunjukkan potensi resistensi audiens.

Smythe mengajukan argumen yang cukup radikal dalam kajian media televisi: yang sebenarnya dijual kepada pengiklan bukan program televisi, melainkan penonton itu sendiri. Ketika kita duduk di depan layar televisi, kita sesungguhnya sedang "bekerja" dengan memberikan perhatian, dan perhatian inilah yang lalu dikonversi menjadi komoditas untuk pengiklan (Smythe, 1977). Jadi, komoditas yang sebenarnya adalah atensi kita sebagai khalayak.

Kerangka berpikir ini sangat aplikatif untuk memahami dinamika media sosial kontemporer. Setiap interaksi kita membuat konten, memberikan like, menulis respons, mengikuti akun, menyebarkan link pada dasarnya adalah bentuk kerja digital. Dari aktivitas-aktivitas ini, terbentuk data perilaku: apa yang kita sukai, bagaimana pola interaksi kita, konten apa yang menarik minat kita. Inilah yang kemudian berubah menjadi komoditas bernilai tinggi. Platform memanfaatkan data ini untuk diperdagangkan kepada pengiklan atau membangun sistem periklanan yang canggih.

Dalam konteks kapitalisme platform, data pengguna memiliki nilai ekonomi yang sangat signifikan karena memungkinkan iklan yang tertarget dengan presisi tinggi. Setiap tampilan, like, dan interaksi menjadi bagian dari apa yang oleh Zuboff (2019) disebut surveillance capitalism-sistem kapitalisme berbasis pengawasan. Hal ini menunjukkan bahwa peran kita bukan hanya sebagai konsumen konten, tetapi juga sebagai produsen nilai yang tidak mendapat kompensasi finansial. Kita adalah buruh digital yang tidak menyadari bahwa kita tengah berada dalam proses produksi.

Poin krusial yang harus dipahami: platform tidak bisa menghasilkan nilai ekonomi tanpa partisipasi aktif penggunanya. Semakin intensif interaksi yang dilakukan, semakin besar volume data yang terakumulasi, dan semakin tinggi nilai komersialnya. Untuk Indonesia sebagai negara dengan populasi pengguna media sosial terbesar keempat di dunia dengan rata-rata durasi penggunaan lebih dari tiga jam sehari (APJII, 2023) fenomena ini memiliki implikasi yang sangat krusial.Althusser menghadirkan konsepsi menarik mengenai cara ideologi beroperasi: lewat "panggilan" kepada individu agar menjadi subjek yang selaras dengan sistem eksisting. Dalam teori Aparatus Ideologis Negara (ISA), media menjalankan fungsi sebagai alat yang menanamkan ideologi hegemonik tanpa memakai koersi fisik (Althusser, 1971). Bila dahulu ISA meliputi institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan media massa, kini platform digital mengeksekusi fungsi yang serupa.

Platform memanggil kita lewat berbagai strategi yang sangat halus. Mereka menganugerahkan label: "content creator", "influencer", "micro-celebrity", "digital citizen". Identitas-identitas ini tidak bersifat netral justru mendorong kita untuk terus produktif, konsisten dalam memproduksi konten, aktif berinteraksi, dan memfokuskan diri pada peningkatan engagement. Yang menarik, seluruh proses ini berlangsung secara volunter. Kita tidak merasa tengah dieksploitasi karena kita mengira sedang mengaktualisasikan diri.

Ambil ilustrasi sederhana: notifikasi yang berbunyi "ucapkan selamat ulang tahun kepada temanmu" atau "waktunya membuat story hari ini". Ini bukan semata-mata pengingat yang friendly ini adalah panggilan untuk berperilaku sesuai dengan logika engagement yang telah didesain platform. Secara gradual namun konsisten, kita dibentuk menjadi subjek digital yang produktif dan mengalami ketergantungan pada platform tersebut.

 

Interpelasi digital juga beroperasi lewat proses normalisasi nilai-nilai tertentu. Kesuksesan didefinisikan kembali: tidak lagi berkaitan dengan capaian substantif, melainkan berkaitan dengan angka jumlah like yang diraih, jumlah follower yang dimiliki, tingkat viralitas sebuah konten. Konsekuensinya, kita terus "bekerja" bukan untuk kepentingan personal kita, melainkan untuk mengkonsolidasikan model bisnis platform.

Akan tetapi Stuart Hall menawarkan perspektif yang lebih penuh harapan. Dalam pandangannya, audiens tidak menerima begitu saja pesan yang dikomunikasikan media. Terdapat proses decoding interpretasi yang dapat berbentuk: akseptasi total (dominan-hegemonik), akseptasi parsial dengan resistensi parsial (negosiasi), atau penolakan menyeluruh (oposisi) (Hall, 1980).

Dalam ruang digital, kita mengobservasi berbagai komunitas yang melakukan interpretasi negosiasional atau oposisional terhadap wacana hegemonik. Sementara platform global mempromosikan konsumerisme dan individualisme, komunitas-komunitas spesifik justru memanfaatkan media sosial untuk kampanye sosial, mobilisasi politik, advokasi isu lingkungan, bahkan melakukan kritik terhadap struktur dominasi.

Indonesia mempunyai contoh-contoh empiris yakni: mobilisasi #ReformasiDikorupsi atau gerakan #BoikotBrandX. Dalam kasus-kasus tersebut, audiens bukan sekadar objek yang patuh terhadap panggilan platform. Mereka bertransformasi menjadi aktor yang secara aktif memproduksi counter-meaning, bahkan menantang wacana hegemonik dari negara atau korporasi. Audiens tidak hanya mengalami komodifikasi, tetapi juga menjadi agen transformasi yang kritis.

Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari konteks imperialisme digital global. Platform-platform raksasa yang berpusat di negara-negara maju mengkontrol infrastruktur komunikasi dunia. Meta dengan Facebook dan Instagram, Google dengan YouTube, ByteDance dengan TikTok mereka mengendalikan sirkulasi data, merancang algoritma, dan pada esensinya memiliki kekuasaan atas ruang publik digital global.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, konsekuensinya terang benderang: kita bukan hanya user teknologi, tetapi supplier sumber daya data. Data warga negara Indonesia diekstraksi, ditransformasi menjadi komoditas, dan dimonetisasi oleh korporasi multinasional. Sementara itu, kedaulatan digital kita mengalami keterbatasan karena infrastruktur kritis berada di luar kontrol nasional (Nugroho, 2022).

Yang lebih esensial: interpelasi digital tidak pernah bersifat netral. Platform membawa serta nilai-nilai ideologis dan ekonomi dari negara asal mereka—terutama ideologi neoliberal kapitalistik. Ruang publik digital menjelma menjadi arena kompetisi ekonomi-politik global yang timpang secara struktural.

Mari kembali pada kerangka konseptual Smythe. Aktivitas kita di media sosial dapat dipahami sebagai kerja dalam beragam dimensi:

·         Produksi Data: Setiap klik, like, share mengkreasi jejak digital yang menjadi raw material industri periklanan dan business intelligence.

·         Promosi Tanpa Kompensasi: Kita secara volunter mendistribusikan konten brand atau wacana ideologis spesifik melalui pembagian iklan atau konten yang disponsori.

·         Reproduksi Ideologi: Lewat engagement yang rutin, kita turut mengkonsolidasikan norma-norma yang diinjeksikan oleh platform.

·         Peningkatan Valuasi Korporasi: Semakin tinggi engagement, semakin tinggi market value platform sementara kita tidak mendapat porsi apapun dari profit tersebut.

Jadi posisi kita bukan semata-mata sebagai konsumen, namun sebagai pekerja yang tidak visible yang memproduksi nilai ekonomi untuk platform. Kondisi ini diperburuk oleh interpelasi ideologis yang membuat kita merasa tengah mengekspresikan kebebasan padahal kita sedang mengakumulasi wealth untuk korporasi global.

Sebagaimana ditekankan Hall, audiens memiliki agensi. Dalam ruang digital, bermunculan berbagai bentuk resistensi mulai dari Komunitas aktivis digital yang melakukan kritik dan membongkar logika bisnis platform seperti mobilisasi #StopSurveillanceCapitalism. Gerakan konsumen kritis yang mengimplementasikan kampanye unfollow massal atau boikot terhadap brand dan platform spesifik. Komunitas kreatif independen yang mengkonstruksi narasi alternatif di luar logika algoritma mainstream.

Di Indonesia, hal ini terlihat dalam mobilisasi mahasiswa, praktik citizen journalism, dan berbagai inisiatif literasi digital yang berusaha menyadarkan publik mengenai struktur dominasi dalam ruang digital (Siregar, 2021).

Fenomena komodifikasi audiens memunculkan pertanyaan etis yang urgent: bagaimana kita memberikan proteksi terhadap hak pengguna ketika data mereka dieksploitasi tanpa kompensasi yang fair? Bagaimana mengamankan bahwa ruang digital tidak sepenuhnya dikuasai oleh korporasi transnasional? Dalam perspektif ilmu komunikasi, ini merupakan panggilan untuk mengadopsi pendekatan komunikasi kritis yang tidak semata-mata mendeskripsikan fenomena, tetapi juga mempertanyakan dan membongkar struktur dominasi yang mendasarinya (Mosco, 2009).

Mahasiswa dan peneliti komunikasi mempunyai tanggung jawab strategis: membongkar mekanisme ideologis dan ekonomi yang beroperasi di balik platform digital. Pendekatan kritis tidak hanya memfasilitasi kita memahami fenomena, tetapi juga membuka peluang untuk mengembangkan alternatif baik dalam kebijakan publik, desain platform yang lebih demokratis, maupun gerakan sosial transformatif.

Kapitalisme platform digital memperlihatkan realitas yang mengagetkan audiens bukan lagi resipien pesan pasif, melainkan komoditas primer dalam ekosistem ekonomi digital. Dengan mengintegrasikan pemikiran Smythe, Althusser, dan Hall, kita memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Smythe memperlihatkan bahwa audiens melakukan kerja yang mengalami komodifikasi. Althusser menjelaskan bagaimana ideologi digital membentuk subjek melalui interpelasi. Hall membuktikan bahwa masih terdapat celah untuk resistensi dan interpretasi alternatif.

Fenomena ini berhubungan erat dengan imperialisme digital, dimana korporasi teknologi global mendominasi ruang publik, mengeksploitasi data pengguna dari negara berkembang, dan mengkonsolidasikan struktur dominasi ekonomi global. Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi, memahami dinamika ini tidak hanya semata urusan akademis, tetapi juga tanggung jawab etis dan politis. Kesadaran kritis terhadap struktur ini memfasilitasi kita untuk tidak hanya menjadi objek pasif, tetapi juga subjek aktif yang mampu bernegosiasi, melakukan resistensi, dan merebut kembali ruang digital sebagai ruang publik yang lebih demokratis dan berkeadilan.

 

Daftar Pustaka

Althusser, L. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. Monthly Review Press.

APJII. (2023). Laporan Survei Internet Indonesia 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.

Hall, S. (1980). Encoding/Decoding. In Culture, Media, Language. London: Routledge.

Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE Publications.

Nugroho, Y. (2022). Kedaulatan digital dan tantangan neo-imperialisme platform. Jurnal Komunikasi Indonesia, 14(1), 45–62.

Siregar, R. (2021). Literasi digital dan perlawanan terhadap dominasi platform. Jurnal Komunikasi dan Media Baru, 8(2), 112–128.

Smythe, D. W. (1977). Communications: Blindspot of Western Marxism. Canadian Journal of Political and Social Theory, 1(3), 1–27.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.

Membangun Layanan Publik yang Aman dan Terintegrasi: Studi Empiris Identitas Digital Nasional dalam Manajemen Pelayanan Publik Digital

Oleh :ARRUMY MARWA P 2520862008, Transformasi digital dalam tata kelola pemerintahan telah menjadi agenda strategis di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tekanan global terhadap peningkatan efisiensi, transparansi, dan inklusivitas dalam pelayanan publik mendorong pemerintah untuk mereformasi sistem birokrasi yang selama ini dikenal lamban dan tidak responsif. Salah satu inovasi penting dalam konteks ini adalah penerapan Identitas Digital Nasional (IDN) yang tidak hanya merevolusi mekanisme otentikasi dalam layanan publik, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan sistem pemerintahan berbasis data yang terintegrasi.

Identitas digital memosisikan diri sebagai fondasi penting dalam ekosistem pelayanan publik digital yang efisien dan aman. Di Indonesia, implementasi program Identitas Kependudukan Digital (IKD) oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri, menjadi salah satu bentuk konkret dari upaya membangun infrastruktur digital yang mendukung reformasi birokrasi nasional. Identitas digital merujuk pada representasi elektronik dari identitas individu yang dapat diverifikasi melalui sistem digital yang aman dan legal. Dalam konteks pelayanan publik, keberadaan identitas digital memungkinkan warga negara mengakses berbagai layanan hanya melalui satu sistem autentikasi yang terintegrasi dengan basis data kependudukan nasional.

Perubahan ini membawa dampak besar terhadap paradigma pelayanan publik. Proses birokrasi yang sebelumnya bersifat manual, berlapis, dan rawan kesalahan kini dapat diakses secara cepat, efisien, dan lebih akurat melalui platform digital. IKD, misalnya, memungkinkan masyarakat mengakses dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan akta kelahiran secara digital melalui perangkat seluler, tanpa harus datang ke kantor pelayanan secara fisik.

Penerapan identitas digital di Indonesia telah menunjukkan dampak positif dalam berbagai sektor pelayanan, khususnya dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19. Pada saat itu, identitas digital memfasilitasi verifikasi data penerima bantuan sosial secara cepat dan akurat. Integrasi sistem ini membantu mengurangi kesalahan penyaluran, mencegah duplikasi, dan mempercepat proses distribusi bantuan. Studi-studi evaluatif menunjukkan bahwa penggunaan data kependudukan terintegrasi meningkatkan kepercayaan publik terhadap mekanisme distribusi bantuan yang adil dan akuntabel. Lebih jauh, sistem digital juga mendukung transparansi dan akuntabilitas melalui rekam jejak digital setiap interaksi antara pengguna dan layanan publik. Setiap proses terdokumentasi secara sistematis, sehingga mempermudah audit dan pengawasan internal terhadap potensi penyalahgunaan data atau wewenang.

Keamanan data menjadi elemen krusial dalam implementasi sistem identitas digital. Pemerintah Indonesia telah mengembangkan sistem yang terpusat dan dienkripsi untuk meminimalisasi risiko kebocoran informasi pribadi. Dengan pendekatan zero-trust dan prinsip-prinsip keamanan siber, integrasi data antar lembaga menjadi lebih aman dan efisien. Di sisi lain, keberadaan sistem ini juga membantu memperkuat tata kelola data nasional yang sebelumnya tersebar di berbagai instansi tanpa standar interoperabilitas yang jelas.

Namun demikian, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem digital pemerintah masih menjadi tantangan. Kasus-kasus kebocoran data yang sempat mencuat ke publik beberapa tahun terakhir menuntut peningkatan perlindungan data pribadi, transparansi pengelolaan, serta jaminan akuntabilitas dari penyelenggara sistem elektronik.

Meski sistem identitas digital menawarkan berbagai kemudahan dan efisiensi, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal aksesibilitas dan literasi digital. Ketimpangan akses internet dan perangkat digital di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) menunjukkan bahwa belum semua warga negara dapat merasakan manfaat dari sistem ini secara merata. Oleh karena itu, perlu ada strategi komprehensif dari pemerintah dalam memperluas jangkauan infrastruktur digital, termasuk penyediaan konektivitas, perangkat yang terjangkau, serta program edukasi digital berbasis komunitas.

Literasi digital juga menjadi prasyarat penting dalam mengoptimalkan penggunaan identitas digital. Pengguna harus memiliki pemahaman dasar tentang keamanan digital, otentikasi dua faktor, serta etika penggunaan informasi pribadi di ruang digital. Tanpa pemahaman ini, sistem yang dibangun justru dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Identitas digital nasional telah menjadi fondasi utama dalam membangun ekosistem pelayanan publik yang cepat, aman, dan responsif di era digital. Studi empiris di Indonesia menunjukkan bahwa penerapan IKD dapat mendorong efisiensi birokrasi, meningkatkan ketepatan layanan, serta memperkuat akuntabilitas dan keamanan dalam manajemen data kependudukan.

Keberhasilan sistem ini tidak hanya bertumpu pada kecanggihan teknologi, tetapi juga memerlukan dukungan kebijakan yang progresif, pembangunan infrastruktur yang merata, serta peningkatan literasi digital masyarakat. Ke depan, kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam mewujudkan sistem pelayanan publik yang adaptif, partisipatif, dan berkeadilan.


Industri Budaya di Era Algoritma: Kajian Kritis atas Hegemoni Digital dalam Platform Media Sosial

Oleh : ARRUMY MARWA P, 252086200

Perkembangan teknologi digital beserta kuasa platform media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan Spotify sudah menciptakan wujud baru industri budaya. Bentuknya kini jauh lebih rumit dan luas jangkauannya. Dulu, industri budaya lebih banyak bergantung pada produksi massal barang-barang seperti film, musik, atau acara televisi. Tapi kini, semua proses pembuatan budaya itu sudah bergeser ke ranah digital sepenuhnya. Tempat ini dijalankan oleh beberapa algoritma pintar dan AI, yang benar-benar mengubah cara kita melihat budaya. Sekarangbudaya dibuatdisebarkan, dan dinikmati dengan cara yang sangat berbeda oleh orang-orang. Untuk memahami mengapa semua ini terjadikita bisamelihat indrusti budaya berkonsep dari Sekolah Frankfurt. Ini bisa menjadi alat yang berguna untuk memahami inti darisituasi ini. Teori hegemoni Gramsci memberikan perspekifyang cukup baik dari teorinya tentang dinamika kekuasaanekonomi digital model memperhitungkan betapa mahal dan mahalnya data dan perhatian pengguna sekarangNamuninisemua terjadi dalam kerangka kapitalisme digital dan memiliki nuansa neoliberal yang cukup jelas.

Mazhab Frankfurt, khususnya Theodor Adorno dan Max Horkheimer, dalam Dialectic of Enlightenment (1947), mengkritik bagaimana industri budaya menciptakan produk budaya secara massal dan seragam yang tujuannya bukan untuk mencerahkan, melainkan untuk menghibur dan mengontrol massa. Bagi banyak orang, ini berarti bahwamusik pop, film Hollywood, dan acara TV dibuat dengansemangat agar semua puas dan tetap stabilFokus saya adalahbahwa semua yang kita sukai adalah praktik kita sebagaipenonton untuk berhenti menjadi kritis sama sekalisementaraideologi kapitalis yang lama telah mendapatkan lebih banyakyang tidak berubah. Jika kita terus melakukan hal yang samabahwa kenikmatan ada di mana kita bisa menemukan ruanguntuk berpikir dan bertanya. Hal terpenting yang saya lihatdalam produk budaya semacam itu adalah bahwa merekasangat diatur. Orang-orang hampir selalu mengikuti satu pola, sangat dekat satu sama lain. Ceritanya berulang-ulang. Formulanya sangat mudah dimengerti siapa saja.

Sekarang kalau kita lihat ekosistem digital yang sedang berkembang ini, pemikiran yang seperti itu muncul lagi. Bedanya, caranya jauh lebih rumit daripada sebelumnya. Secara teknisalgoritma di balik platform-platform sepertiTikTok, YouTube, atau Spotify benar-benar berlaku semacampelindung penyaringan terhadap konten apa pun yang kitalihatNamunalgoritma tidak “memilih” apa yang populertetapi “mengikuti” kitaMereka melihat bukti apa yang telahkita lihat di masa lalu, dan kemudian menetapkan kategoristandarization atau templat dalam beberapa cara yang membuatnya terlihat seperti tersembunyi dan sangat maju

Kita merasa bahwa kita mendapat banyak pilihantetapipada dasarnya setiap orang mendapat saran yang cukup unikmeskipun uniknya sama bersifat otomatisBeroperasinya carakerja sebenarnya terlihat melarang membuka pengalamanbudaya yang dapat diandalkan bagi semua kita. Algoritma sering kali mengulang pola konsumsi yang sama bagi siapa pun. Mereka merekomendasikan hal-hal yang seragam berulang-ulang. Lihat saja fenomena tren global di TikTok, seperti challenge menari, audio viral, atau konten dengan struktur naratif tertentu. Itu menunjukkan bagaimana standar estetika dan konten diatur secara sistematis. Bukan pada para kreator sendiritetapi pada logic machine yang dikendalikankepentingan platform. 

Adorno dan Horkheimer mengembangkan apa yang disebut pseudo-individuality. Ini sebenarnya menggambarkansebagai seolah-olah kita mempunyai kebebasan untukmemilih produk budaya. Tapi sebenarnyapilihan tersebutsudah dibentuk dan diarahkan oleh sistem produksi massal. Pseudo-individuality sudah mulai kita jumpai trentnya dalambentuk fitur fitur rekomendasi personal di berbagai digital platform. Jadi, seberapa pun kita mengira kita memilih, di balik layar ada banyak sekali yang mempengaruhi pilihankita. Spotify, misalnya, menawarkan daftar putar seperti Discover Weekly atau Daily Mix yang disesuaikan dengan preferensi pengguna. TikTok menampilkan konten di For You Page (FYP) berdasarkan interaksi pengguna sebelumnyaSituasi seperti ini membuat orang merasa bahwa pengalaman digital mereka benar-benar unik dan personal. Padahal, kenyataannya semuanya dibuat oleh algoritma yang tujuan pokoknya cuma guna membuat pengguna betah lama-lama dan terus berinteraksi. Bukan buat memberi variasi konten yang beda-beda atau mendalami obrolan budaya yang lebih luas lagi.

Melihat kasus pengguna TikTok yang sangat suka menonton video mengenai kecantikan. Mereka akan terus disuguhin konten yang mirip-mirip, jadi satu narasi tertentu makin mendominasi. Akibatnya, kesempatan buat lihat topik lain seperti pendidikan, politik, atau seni yang lebih eksperimental jadi makin tipis. Ini bentuk pseudo-individualisasi yang paling pelik. Pengguna pikir mereka bebas sepenuhnya. Tapi sebenarnya, mereka malah terjebak di gelembung algoritma yang cuma nguatkan pilihan yang udahditentuin dari awal. Antonio Gramsci lewat konsep hegemoninya bilang bahwa kekuasaan itu nggak cuma ditegakkan pakai dominasi langsung atau paksaan aja. Kekuasaan juga dibangun dari persetujuan sukarela atau konsensus di masyarakat sipil. Hegemoni ini bekerja dengan cara bikin ideologi dominan tampak seperti kebenaran universal yang diterima semua orang.

Di platform digital sekarang, hegemoni berjalan lewat konten-konten yang nyebarin nilai-nilai tertentu secara besar-besaran. Nilai-nilai itu diserap publik tanpa banyak perlawanan yang nyata. Gaya hidup konsumerisme, pemujaan terhadap kekayaan, bentuk tubuh ideal, atau pola hubungan sosial tertentu jadi mendominasi. Hal itu terjadi karena konten-konten viral terus mereproduksi semuanya tanpa henti.Contohnya, video TikTok yang nunjukin kehidupan mewah atau belanja barang branded. Ada juga yang memberdayakantekanan gaya hidup hustle culture sebagai motif penandakesuksesan. Maka sudahlah. Banyak orang ingin melakukanbanyak halTetapimereka tidak menyadarinya ataupunmemperhatikannya lebih mendalamnilai-nilai tersebut adalahfungsi dari grado kapitalisme neoliberal yang sedang melandasekitar akhirHancurkan konsumsi ada biasanya yang beruntung.

Namunsebenarnya platform ini juga memberikankesempatan bagi berbagai suara utnuk bisa didengar. Banyak pembuat konten yang memanfaatkan media sosial untukmembahas masalah-masalah pentingmulai dari keadilansosialisu-isu lingkunganfeminisme, dan hinggakeberpihakan kepada kapitalismeMisalnya ketik#IndonesiaDaruratIklim di Twitter, atau #BlackLivesMatter atau #MahasiswaBersuara, source Untitled. Ini semuamembuktikan bahwa media sosial juga telah menjadi arena di mana ideologi saling bersaingWalaupun dominasi ideologitertentu sangat kuat, platform ini bisa digunakan sebagai alatdalam melawan dan memperjuangkan budaya.

Pada masa sekarang kita hidup di zaman digital yangsudah lekat banget dengan konteks ekonomi politik global yang neoliberal. Dalam sistem begitu, pasar bebas jadi aturan utama. Hampir semua yang kita lihat dan rasakan dianggap sebagai barang dagangan, termasuk data pribadi kita sendiri dan bahkan perhatian yang kita berikan. Platform digital ini sebenarnya berfungsi dengan cara yang disebut sebagai surveillance capitalism. Ini dijelaskan oleh Zuboff pada tahun 2019. Intinya mereka mengumpulkan data pengguna, menganalisisnya, dan kemudian menjualnya kepada pengiklan. Tujuannya supaya mereka bisa prediksi dan pengaruhi pola belanja seseorang. Perhatian kita pun menjadi sumber daya utama yang diperebutkan. Sebab, perhatian itu sekarang berperan sebagai mata uang baru dalam ekonomi digital. Sebenarnya ini memperkuat pemikiran soal industri budaya dari Mazhab Frankfurt. Masyarakat sudah tidak lagi berperan sebagai subjek yang memproses budaya. Justrumereka jadi seperti barang produksi, sangat mudah dikontrol dan dibentuk sesuka hati. Platform digital jauh dari kata netral. Mereka memgegang kendali penuh guna menentukanselera orang banyak, bahkan bisa mengatur apa saja yang dianggap penting. Terlebih info yang lewat juga dipilihkan berdasarkan kepentingan para konglomerat di balik layar.

Dalam pola pikir seperti ini, pengguna platform seolah-olah mendapat akses gratis ke hiburan dan berita. Padahal, kenyataannya lebih seperti pertukaran barang. Kita menyerahkan data privasi kita, kita juga meluangkan waktu dan perhatian kita. Sebagai imbalannya, kita dapat konten yang sudah dipilih oleh algoritma. Hubungan seperti itu menandakan munculnya imperialisme digital yang baru. Kekuasaan dunia kini dikuasai oleh sedikit perusahaan teknologi raksasa. Contohnya seperti Meta, Google, dan ByteDance.

Dengan menggunakan teori dari Mazhab Frankfurt serta Gramsci, ditambah analisis ekonomi politik di ranah digital, kita bisa paham lebih dalam. Industri budaya pada masa platform digital ini masih mempertahankan sifat pokoknya. Ia menciptakan keseragaman di mana-mana. Ia melemahkan kemampuan berpikir kritis. Ia juga memperkuat ideologi yang mendominasi. Meski begitu, teknologi baru seperti algoritma membuat kontrol ini lebih halus dan pribadi. Hal itu menciptakan gambaran palsu soal kebebasan. Akhirnya, proses pendominan kita menjadi semakin berlapis

Sebagai Mahasiswa Pascasarjana Komunikasicukupmasuk akal untuk kita mengerti satu-satunya logika sistem ini. Kita harus ada dan membuat seperangkat ruang konten yang lebih kritislebih inklusif, dan lebih membebaskanuntuksemua pemangku kepentinganSekarangtantangan ke depanadalah bagaimana kita menggunakan teknologi untukmempertahankanbukan mendorong kelanjutan dominasi.


Referensi:

• Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1947). Dialectic of Enlightenment. New York: Herder and Herder.
• Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
• Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.
• Fuchs, C. (2014). Social Media: A Critical Introduction. London: Sage.
• Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). The Costs of Connection: How Data is Colonizing Human Life and Appropriating it for Capitalism. Stanford: Stanford University Press.