Oleh : ARRUMY MARWA P, 2520862008
Perkembangan teknologi digital beserta kuasa platform media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan Spotify sudah menciptakan wujud baru industri budaya. Bentuknya kini jauh lebih rumit dan luas jangkauannya. Dulu, industri budaya lebih banyak bergantung pada produksi massal barang-barang seperti film, musik, atau acara televisi. Tapi kini, semua proses pembuatan budaya itu sudah bergeser ke ranah digital sepenuhnya. Tempat ini dijalankan oleh beberapa algoritma pintar dan AI, yang benar-benar mengubah cara kita melihat budaya. Sekarang, budaya dibuat, disebarkan, dan dinikmati dengan cara yang sangat berbeda oleh orang-orang. Untuk memahami mengapa semua ini terjadi, kita bisamelihat indrusti budaya berkonsep dari Sekolah Frankfurt. Ini bisa menjadi alat yang berguna untuk memahami inti darisituasi ini. Teori hegemoni Gramsci memberikan perspekifyang cukup baik dari teorinya tentang dinamika kekuasaan, ekonomi digital model memperhitungkan betapa mahal dan mahalnya data dan perhatian pengguna sekarang. Namun, inisemua terjadi dalam kerangka kapitalisme digital dan memiliki nuansa neoliberal yang cukup jelas.
Mazhab Frankfurt, khususnya Theodor Adorno dan Max Horkheimer, dalam Dialectic of Enlightenment (1947), mengkritik bagaimana industri budaya menciptakan produk budaya secara massal dan seragam yang tujuannya bukan untuk mencerahkan, melainkan untuk menghibur dan mengontrol massa. Bagi banyak orang, ini berarti bahwamusik pop, film Hollywood, dan acara TV dibuat dengansemangat agar semua puas dan tetap stabil. Fokus saya adalahbahwa semua yang kita sukai adalah praktik kita sebagaipenonton untuk berhenti menjadi kritis sama sekali, sementaraideologi kapitalis yang lama telah mendapatkan lebih banyakyang tidak berubah. Jika kita terus melakukan hal yang samabahwa kenikmatan ada di mana kita bisa menemukan ruanguntuk berpikir dan bertanya. Hal terpenting yang saya lihatdalam produk budaya semacam itu adalah bahwa merekasangat diatur. Orang-orang hampir selalu mengikuti satu pola, sangat dekat satu sama lain. Ceritanya berulang-ulang. Formulanya sangat mudah dimengerti siapa saja.
Sekarang kalau kita lihat ekosistem digital yang sedang berkembang ini, pemikiran yang seperti itu muncul lagi. Bedanya, caranya jauh lebih rumit daripada sebelumnya. Secara teknis, algoritma di balik platform-platform sepertiTikTok, YouTube, atau Spotify benar-benar berlaku semacampelindung penyaringan terhadap konten apa pun yang kitalihat. Namun, algoritma tidak “memilih” apa yang populertetapi “mengikuti” kita. Mereka melihat bukti apa yang telahkita lihat di masa lalu, dan kemudian menetapkan kategoristandarization atau templat dalam beberapa cara yang membuatnya terlihat seperti tersembunyi dan sangat maju.
Kita merasa bahwa kita mendapat banyak pilihan, tetapipada dasarnya setiap orang mendapat saran yang cukup unik, meskipun uniknya sama bersifat otomatis. Beroperasinya carakerja sebenarnya terlihat melarang membuka pengalamanbudaya yang dapat diandalkan bagi semua kita. Algoritma sering kali mengulang pola konsumsi yang sama bagi siapa pun. Mereka merekomendasikan hal-hal yang seragam berulang-ulang. Lihat saja fenomena tren global di TikTok, seperti challenge menari, audio viral, atau konten dengan struktur naratif tertentu. Itu menunjukkan bagaimana standar estetika dan konten diatur secara sistematis. Bukan pada para kreator sendiri, tetapi pada logic machine yang dikendalikankepentingan platform.
Adorno dan Horkheimer mengembangkan apa yang disebut pseudo-individuality. Ini sebenarnya menggambarkansebagai seolah-olah kita mempunyai kebebasan untukmemilih produk budaya. Tapi sebenarnya, pilihan tersebutsudah dibentuk dan diarahkan oleh sistem produksi massal. Pseudo-individuality sudah mulai kita jumpai trentnya dalambentuk fitur fitur rekomendasi personal di berbagai digital platform. Jadi, seberapa pun kita mengira kita memilih, di balik layar ada banyak sekali yang mempengaruhi pilihankita. Spotify, misalnya, menawarkan daftar putar seperti Discover Weekly atau Daily Mix yang disesuaikan dengan preferensi pengguna. TikTok menampilkan konten di For You Page (FYP) berdasarkan interaksi pengguna sebelumnya. Situasi seperti ini membuat orang merasa bahwa pengalaman digital mereka benar-benar unik dan personal. Padahal, kenyataannya semuanya dibuat oleh algoritma yang tujuan pokoknya cuma guna membuat pengguna betah lama-lama dan terus berinteraksi. Bukan buat memberi variasi konten yang beda-beda atau mendalami obrolan budaya yang lebih luas lagi.
Melihat kasus pengguna TikTok yang sangat suka menonton video mengenai kecantikan. Mereka akan terus disuguhin konten yang mirip-mirip, jadi satu narasi tertentu makin mendominasi. Akibatnya, kesempatan buat lihat topik lain seperti pendidikan, politik, atau seni yang lebih eksperimental jadi makin tipis. Ini bentuk pseudo-individualisasi yang paling pelik. Pengguna pikir mereka bebas sepenuhnya. Tapi sebenarnya, mereka malah terjebak di gelembung algoritma yang cuma nguatkan pilihan yang udahditentuin dari awal. Antonio Gramsci lewat konsep hegemoninya bilang bahwa kekuasaan itu nggak cuma ditegakkan pakai dominasi langsung atau paksaan aja. Kekuasaan juga dibangun dari persetujuan sukarela atau konsensus di masyarakat sipil. Hegemoni ini bekerja dengan cara bikin ideologi dominan tampak seperti kebenaran universal yang diterima semua orang.
Di platform digital sekarang, hegemoni berjalan lewat konten-konten yang nyebarin nilai-nilai tertentu secara besar-besaran. Nilai-nilai itu diserap publik tanpa banyak perlawanan yang nyata. Gaya hidup konsumerisme, pemujaan terhadap kekayaan, bentuk tubuh ideal, atau pola hubungan sosial tertentu jadi mendominasi. Hal itu terjadi karena konten-konten viral terus mereproduksi semuanya tanpa henti.Contohnya, video TikTok yang nunjukin kehidupan mewah atau belanja barang branded. Ada juga yang memberdayakantekanan gaya hidup hustle culture sebagai motif penandakesuksesan. Maka sudahlah. Banyak orang ingin melakukanbanyak hal. Tetapi, mereka tidak menyadarinya ataupunmemperhatikannya lebih mendalam, nilai-nilai tersebut adalahfungsi dari grado kapitalisme neoliberal yang sedang melandasekitar akhir. Hancurkan konsumsi ada biasanya yang beruntung.
Namun, sebenarnya platform ini juga memberikankesempatan bagi berbagai suara utnuk bisa didengar. Banyak pembuat konten yang memanfaatkan media sosial untukmembahas masalah-masalah penting, mulai dari keadilansosial, isu-isu lingkungan, feminisme, dan hinggakeberpihakan kepada kapitalisme. Misalnya ketik#IndonesiaDaruratIklim di Twitter, atau #BlackLivesMatter atau #MahasiswaBersuara, source Untitled. Ini semuamembuktikan bahwa media sosial juga telah menjadi arena di mana ideologi saling bersaing. Walaupun dominasi ideologitertentu sangat kuat, platform ini bisa digunakan sebagai alatdalam melawan dan memperjuangkan budaya.
Pada masa sekarang kita hidup di zaman digital yangsudah lekat banget dengan konteks ekonomi politik global yang neoliberal. Dalam sistem begitu, pasar bebas jadi aturan utama. Hampir semua yang kita lihat dan rasakan dianggap sebagai barang dagangan, termasuk data pribadi kita sendiri dan bahkan perhatian yang kita berikan. Platform digital ini sebenarnya berfungsi dengan cara yang disebut sebagai surveillance capitalism. Ini dijelaskan oleh Zuboff pada tahun 2019. Intinya mereka mengumpulkan data pengguna, menganalisisnya, dan kemudian menjualnya kepada pengiklan. Tujuannya supaya mereka bisa prediksi dan pengaruhi pola belanja seseorang. Perhatian kita pun menjadi sumber daya utama yang diperebutkan. Sebab, perhatian itu sekarang berperan sebagai mata uang baru dalam ekonomi digital. Sebenarnya ini memperkuat pemikiran soal industri budaya dari Mazhab Frankfurt. Masyarakat sudah tidak lagi berperan sebagai subjek yang memproses budaya. Justrumereka jadi seperti barang produksi, sangat mudah dikontrol dan dibentuk sesuka hati. Platform digital jauh dari kata netral. Mereka memgegang kendali penuh guna menentukanselera orang banyak, bahkan bisa mengatur apa saja yang dianggap penting. Terlebih info yang lewat juga dipilihkan berdasarkan kepentingan para konglomerat di balik layar.
Dalam pola pikir seperti ini, pengguna platform seolah-olah mendapat akses gratis ke hiburan dan berita. Padahal, kenyataannya lebih seperti pertukaran barang. Kita menyerahkan data privasi kita, kita juga meluangkan waktu dan perhatian kita. Sebagai imbalannya, kita dapat konten yang sudah dipilih oleh algoritma. Hubungan seperti itu menandakan munculnya imperialisme digital yang baru. Kekuasaan dunia kini dikuasai oleh sedikit perusahaan teknologi raksasa. Contohnya seperti Meta, Google, dan ByteDance.
Dengan menggunakan teori dari Mazhab Frankfurt serta Gramsci, ditambah analisis ekonomi politik di ranah digital, kita bisa paham lebih dalam. Industri budaya pada masa platform digital ini masih mempertahankan sifat pokoknya. Ia menciptakan keseragaman di mana-mana. Ia melemahkan kemampuan berpikir kritis. Ia juga memperkuat ideologi yang mendominasi. Meski begitu, teknologi baru seperti algoritma membuat kontrol ini lebih halus dan pribadi. Hal itu menciptakan gambaran palsu soal kebebasan. Akhirnya, proses pendominan kita menjadi semakin berlapis.
Sebagai Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi, cukupmasuk akal untuk kita mengerti satu-satunya logika sistem ini. Kita harus ada dan membuat seperangkat ruang konten yang lebih kritis, lebih inklusif, dan lebih membebaskan, untuksemua pemangku kepentingan. Sekarang, tantangan ke depanadalah bagaimana kita menggunakan teknologi untukmempertahankan, bukan mendorong kelanjutan dominasi.
Referensi:
No comments
Post a Comment