Perjalanan Inspiratif Umi Mae: Dari Keterbatasan Hingga Menjadi Pemimpin Pendidikan
Nazwa Maulana Lynn: Dari Korban Bullying Menjadi Calon Dokter Berprestasi
Harmoni di Balik Pintu Pesantren: Kisah Hidup Santri yang Penuh Makna
Di balik pintu asrama sederhana, tersimpan cerita ribuan anak pesantren yang menjalani hidup dalam kesahajaan. Setiap hari mereka memulai aktivitasnya dengan doa, mengaji, dan menimba ilmu, membangun mental dan spiritual untuk menjadi generasi pembawa kebaikan. Kehidupan pesantren menjadi gambaran harmoni antara kesederhanaan, ketulusan, dan cita-cita besar, yang jarang ditemukan di luar sana.
Pesantren adalah tempat di mana anak-anak diajarkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, disiplin, dan rasa hormat. Mereka diajarkan untuk selalu menghormati orang tua, guru, dan sesama teman. Hal ini membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang matang dan berakhlak mulia.
Ketika menjelang pagi setelah shalat subuh santri duduk bersila, masing-masing memegang kitab kuning—lembaran-lembaran dengan tulisan Arab gundul yang terlihat rumit bagi orang awam. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga mengurai makna, mempelajari tafsir, dan memahami konteks. Mengaji kitab kuning bukan sekadar rutinitas harian; itu adalah perjalanan intelektual dan spiritual yang menghubungkan mereka dengan tradisi keilmuan para ulama terdahulu.
Menjadi santri tentu tidak selalu mudah. Tinggal jauh dari keluarga, mematuhi aturan, dan menghadapi rutinitas padat adalah tantangan yang mereka hadapi setiap hari. Namun, di balik itu, mereka menemukan keindahan: ikatan persaudaraan yang kuat, kedekatan dengan Allah, dan pencapaian pribadi yang membanggakan.
Kehidupan di pesantren mungkin tampak sederhana, tetapi di dalamnya terdapat kekayaan yang luar biasa. Para santri tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi untuk masyarakat. Dari balik pintu-pintu asrama itu, lahirlah generasi yang memadukan ilmu dan iman, membawa cahaya di tengah zaman yang penuh tantangan.
Penulis : Sri Susanti
Sosok Pemimpin Visioner yang Membawa Jawa Barat Berprestasi
Berawal Dari Hobi, Eman Sulaeman Kini Menjadi Pembimbing Diklat
Kisah Hidup Enie, Pelopor Kreativitas di Kampung Mandiri Rastik
Enie Mu'alifah seorang pengrajin barang-barang antik yang sebagian besar berbahan barang bekas, merupakan salah satu warga Kelurahan Cipadung Kulon. Enie dikenal memiliki jiwa seni tinggi, di Kampung Rastik (Barang bekas antik) dia lebih dikenal dengan sebutan jeng. Panggilan tersebut sesuai dengan asal daerahnya, Surabaya. Wanita kelahiran 7 Februari 1973 ini telah merantau ke Bandung sejak tahun 1995.
Sedikit yang tahu pengalaman hidup Enie, sejak merantau meninggalkan Kampung halaman. Enie lulusan SMA pernah bekerja terlebih dahulu di pelayaran selama satu tahun di bagian ekspor impor, kemudian bekerja di Garmen. Setelah menikah, dia berhenti bekerja dan fokus kembali pada kreativitasnya.
"Sebelum buat barang antik, awalnya saya bikin kue dulu, sering ikutan pelatihan dekorasi kue, terus berakhir ke kaos, saya lukis kaosnya, terakhir baru barang-barang antik, ya sekitar sebelum tahun 2010," Jelas Enie.
Sebenarnya kreativitas Enie sudah mulai tumbuh sejak kecil. Dia menuturkan bahwa ketika kecil masih duduk di bangku SD sudah pernah membuat boneka dari kayu. Naik ke SMP membuat hiasan di tembok, membuat dekorasi dengan kain samping. Namun, ketika berada di SMA dia beralih suka pidato. Meskipun demikian, jiwa seni Enie tetap menancap kuat.
Banyak karya yang dihasilkan Enie dari barang bekas diantaranya membuat lilin aromaterapi dari minyak jelantah, membuat kostum dengan yang terbuat dari limbah sepatu, karung yang dilukis hingga menggunakan kulit bawang yang dipadukan dengan rok trasbag. Selain itu, dia juga membuat dekorasi panggung acara sekolah atau lainnya, baik disewakan atau dijual.
Tidak pernah terpikirkan orang lain, membuat kalung dari tempe, koran dan serabut fiber pun menjadi barang cantik di tangan Enie. Bahkan, Enie pernah membuat burung garuda yang berada tidak jauh dari pintu masuk Kampung Rastik, hingga sekarang karyanya masih ada meskipun sudah rusak di beberapa bagian. Adapun bahannya dia dapatkan kadang dari warga sekitar, pengepul, atau kadang beli untuk barang-barang antik tertentu.
Enie mengungkapkan bahwa dia melakukan ini karena memang cinta berkreasi. "Ya karena suka, cinta, saya itu kalau melihat sesuatu indah, kayak lihat lumut gede di sungai yang abu-abu itu, ya indah," Jelas Enie.
Enie mengaku belum menemukan komunitas yang fokus mengelola barang antik dari barang bekas. Dia juga menceritakan belum pernah ikut pelatihan terkait mengelola barang antik. Enie mengaku belajar otodidak dalam mengasah kreativitasnya. Dia menceritakan, biasanya menghabiskan malam untuk menggambar, mengukir dan lainnya hingga sering tidur jam 3 atau jam 4.
Keuletan Enie membuat barang antik memberi pengaruh pada lingkungannya. Mulanya Rastik berdiri sendiri, kemudian ketika dia bergabung dengan PKK Pokja 2 yang fokus pada keterampilan, Rastik mulai didukung oleh Kelurahan Cipadung Kulon. Akhirnya, Kampung tempat tinggal Enie diberi nama Kampung Mandiri Rastik. Di Kampung ini, Enie sebagai pelopor kreativitas memberikan pelatihan kepada warga untuk menghasilkan barang antik.
Pemandangan unik dari Kampung Mandiri Rastik yaitu setiap nomor rumah berasal dari panci, wajan dan alat lainnya yang dilukis dengan warna cerah. Disayangkan, Rastik belum maksimal masuk ke media sosial sehingga belum banyak dikenal. Karena yang bergabung di Rastik kebanyakan ibu rumah tangga serta kurangnya peran anak muda. Meskipun demikian, Kampung Mandiri Rastik pernah meraih juara 1 Kampung kreatif Kota Bandung. Pada tahun 2017 juga kampung ini pernah masuk juara harapan 3 Nasional.
Iseng Belajar Membuat Tempe, Kini Hedi Hidupi Keluarga dari Usaha Kecilnya
Reporter : Salimah
Keren! Pemuda Cibiru Hilir Berhasil Raih Beasiswa dan Jadi Asisten Dosen
"Tetapi semangat itu memudar ketika saya duduk di bangku kelas 8, saya meminta kepada bapak dan kakak-kakak saya untuk berhenti sekolah dan fokus kerja dan memperbaiki perekonomian keluarga," ungkapnya. permintaan itu tidak disetujui baik oleh bapak maupun oleh kakak-kakaknya. Akhirnya dia kembali bersemangat sekolah setelah diberikan beberapa nasihat oleh bapak dan kakaknya.
Ketika sampai di jenjang SMA dia melanjutkan sekolahnya di sebuah Pesantren yang ada di Tasikmalaya. Disana dia mulai menyukai kajian-kajian islami dan mulai menghafal Al-Qur'an. Setelah lulus, ia melanjutkan kuliah tetapi karena perekonomian kian memburuk.
Pada saat itu, ia mendapatkan beasiswa LPDP serta beasiswa PTQ for leaders. Dia mulai mengajar di tempat terpencil dan aktif dalam mengurus urusan masjid. Selain itu, dia juga memiliki beberapa jadwal dakwah di beberapa Masjid sekitar Cibiru. Sampai akhirnya, dia berhasil mendapat kesempatan melanjutkan S2 dengan beasiswa juga dan menjadi asisten dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Reporter : Siti Allawiah